Kamis, 01 November 2012

Kugapai Cintamu: Refleksi Jiwa Muda Menggapai Cinta

Bagai flamboyan yang meranggas di musim kemarau, dan mulai bersemi kembali di musim hujan. Berlomba-lomba dengan terpaan badai untuk merekahkan bunganya.” Prolog diatas dapat menjadi gambaran cerita film garapan sutradara Wim Umboh (1977) yang bertajuk Kugapai Cintamu. Film ini merupakan bagian kedua dari trilogi yang ditulis oleh Ashadi Siregar. Bagian pertama dari trilogi ini adalah film Cintaku di Kampus Biru (1976) sedangkan bagian terakhirnya adalah film Terminal Cinta (1977). Cerita film ini berkutat pada tiga orang tokoh utama, yaitu Faratody (Cok Simbara), Irawati (Jenny Rachman) dan Widuri (Lenny Marlina), serta seorang tokoh lainnya yaitu Antonius (Roy Marten). Awal cerita dari film ini dimulai dari Mapram –sekarang dikenal dengan Ospek- oleh mahasiswa UGM. Irawati yang digambarkan sebagai gadis manja, saat mapram sakit sehingga masuk kesekretariatan panitia diantarkan oleh Widuri. Dari sinilah awal perkenalan Irawati dengan Tody. Tody merupakan tipologi tokoh mahasiswa yang ragu-ragu dalam cinta hingga sering berkonsultasi dengan sahabatnya, Anton, seorang mahasiswa psikologi. Waktu terus berlalu, ternyata terjadi cinta segitiga yang tak terungkap antara Tody, Widuri, dan Irawati. Widuri dengan penggambarannya sebagai gadis Jawa tak berani mengutarakan cintanya kepada Tody dan pasrah akan cintanya. Widuri hanya mampu mencintai dalam kediamannya, karna ia tahu bahwa cintanya kalah dengan Irawati yang notabene adalah anak orang kaya. Irawati yang dari lahir sudah diramalkan tidak berumur panjang. Hal ini membuat ia sangat dimanja oleh kedua orang tuannya. Kehidupan yang bergelimang harta dan kebebasan membuat Irawati ingin menjahili Widuri, karna menurutnya Widuri adalah saingan yang sulit untuk mendapatkan cinta Tody. Keisengan Irawati terjadi saat Tody ber-KKN ke desa Widuri. Widuri diajak ke Kaliurang dan diperkosa kawan-kawan berandalan Irawati, hingga hamil dan pulang ke desa. Tody kembali ke Kampus dan mendapat surat dari orangtuanya bahwa tak sanggup membiayai sekolahnya lagi, lalu bekerja pada orangtua Irawati. Cerita semakin kompleks ketika Tody berusaha membatu temannya yang membutuhkan uang setengah juta rupiah, namun temannya tak mengembalikan. Akhirnya orang tua Irawati meminta Tody untuk menikahi Irawati yang hamil akibat pergaulan bebasnya. Kehidupan mereka tak bejalan bahagia, dan Tody memutuskan untuk bekerja di tempat lain. Ia meninggalkan Irawati. Tanpa disadari ternyata Tody tetap mencintai Widuri, Tody menyusul Widuri ke desa karena tahu bahwa suami Widuri sangat semena-mena kepadanya. Namun ternyata nasib berkata lain, Widuri menolak untuk diajak pergi oleh Tody. Dalam perjalanan pulangnya, Tody mengalami kecelakaan hebat hingga dibawa ke rumah sakit. Di tempat yang sama, yakni di Rumah Sakit, Irawati sedang merasakan kesakitan karena akan melahirkan anaknya. Dan akhir dari cerita ini adalah Tody dan Irawati meninggal dalam waktu yang bersamaan sebelum mereka tahu bahwa mereka berdua saling mencintai. Anton hanya mampu termangu-mangu diantara dua gundukan tanah yang bertuliskan Faraitody Wangge (3 Juli 1946 – 12 Mei 1973) dan Irawati Faraitody Wangge (13 November 1953 – 12 Mei 1973). Benar-benar realitas jiwa muda menggapai cintanya. Ada beberapa hal yang dapat disoroti dari film ini. Pertama, pengambilan adegan setiap scenenya masih terlihat kasar. Apalagi ketika ada proses zooming untuk memperlihatkan bahwa Irawati sedang serius dalam berucap. Wajah Irawati nampak “wagu” dan kurang tersirat makna yang ingin disampaikan oleh sang pemain. Sehingga ekspresi penonton justru tertawa melihatnya. Karena ini film sekitar 35 tahun yang lalu, teknologi kamera yang digunakan juga mempengaruhi kualitas pengambilan gambar yang dilakukan oleh kameramen. Kedua, masalah adegan yang ditampilkan dalam film cukup vulgar dan sering mengundang kata “wuidihhh...” dari penonton. Hal ini dapat dimaklumi karena Lembaga Sensor Film jaman itu belum seketat jaman sekarang. Dan memang film era 70-an memang lebih didominasi fil-film percintaan yang vulgar daripada film horor yang menjadi trend di masa kini. Hal ketiga yang menjadi sorotan adalah masalah alur. Alur yang ditampilkan dalam film ini bukan mengerucut pada puncak permasalahan, justru melebar sehingga tidak dimengerti bagaimana jalan cerita dalam film ini. Namun, dalam akhir cerita Anton duduk termangu memandang nisan di depannya. Dan ternyata nisan itu adalah nisan Irawati dan Tody. Inilah yang menjadi kunci alur cerita. Dan baru paham bahwa maksud dari film ini adalah semacam flashback kenangan yang dilakukan oleh Roy Marteen yang berperan sebagai Anton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar