Kamis, 01 November 2012

Bicycle Thieves (1948): Jejak ‘Neorealisme Movement’ ala Italia

“For me, it is above all, a moral position from which to look at the world. It then became an aesthetic position, but at the beginning it was moral” (Roberto Rossellini) Sebuah film hitam putih. Itulah kesan pertama saat melihat pembukaan film Bicycle Thieves yang begitu kelabu dengan alunan musik yang klasik. Dalam hati mulai menerka-nerka apakah ini film yang membosankan atau film yang melankolis. Namun tulisan “One of the greatest film all of time” sepertinya mampu mengubah persepsi awal saya. Dramatis, miris, dan ironis. Berakhir dengan keharuan. Meskipun diselimuti keharuan, ini bukan film melankolis seperti dugaan awal saya. Ini sebuah film neorealis, film yang nampak nyata. Film ini berkisah tentang Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani) yang kehilangan sepedanya. Sebenarnya cerita sederhana namun ditampilkan begitu nyata. Seperti menyaksikan adegan kehidupan yang hanya terbatasi oleh sekat kaca. Kehidupan sosial-ekonomi kelas bawah mampu terpotret secara apik dalam film ini. Sang sutradara, Vittorio de Sica mampu mencerminkan gerakan neorealis yang terjadi pada kala itu. Vittorio de Sica -sineas neorealis yang lahir di antara puing-puing paska Perang Dunia II ini- turun ke jalan dan syuting di lokasi yang sebenarnya, berupaya sedekat mungkin dengan realitas. Tak pelak sang sutradara pun memasukkan penggambaran baru mengenai neorealisme yang akan diangkat. Dan dalam film ini, ‘neorealisme movement’ yang mampu ditangkap adalah penggambaran kota yang cenderung berantakan dan kumuh, proses modernisasi, industrialisasi, sekularisasi, dan urbanisasi. Benar-benar persis dengan keadaan usai PD II. Dalam film yang bergenre neorealis ini, tidak hanya memperlihatkan kehancuran fisik sang aktor, tapi juga secara metafisik dan eksistensial. Seperti yang tergambar dalam cerita, setelah Antonio Ricci kehilangan sepeda, ia pun juga kehilangan pekerjaan. Sehingga membawa kehidupannya, Maria (Lianella Carell) dan Bruno (Enzo Staiola) ke keadaan yang semakin sulit. Dan ia pun harus bersusah payah mencari sepedanya. Di samping cerita yang neorealis, yang mengangkat realitas sosial di kota Roma, dan secara lebih luas kehidupan sosial ekonomi Italia pasca Perang Dunia II, pemilihan setting yang benar-benar nyata nampaknya menjadi poin positif dalam film ini. Latar yang dipilih mampu membuat penonton terhanyut dalam cerita. Latar tempat yang tergambar meliputi tempat-tempat umum (pegadaian, jembatan, gereja, dsb). Kronologi waktu yang bertepatan dengan berakhirnya PD II cukup menjadikan cerita semakin menarik dengan kondisi kota yang masih semrawut, kondisi masyarakat yang miskin, dan kekuasaan kepala negara sangat mendominasi di masa itu. Pemilihan pemeran yang non-aktor semakin merealiskan film ini. Peran sebagai Antonio Ricci rasanya memang hanya bisa dihayati oleh orang-orang yang memang terbiasa ‘susah’, seperti Lamberto Maggiorani, yang dalam kehidupan nyata adalah seorang buruh pabrik. Moralitas yang lebih ditonjolkan dalam film ini adalah moralitas politik-ekonomi yang kala itu nampak ‘tidak adil’. Dari Bicycle Thieves kita diperlihatkan betapa bergantungnya manusia terhadap pekerjaan dan uang. Namun, dalam masa itu pekerjaan dirasa tidak adil, tak semua orang berhak memperoleh pekerjaan. Hanya orang yang punya sepedalah yang boleh bekerja. Dan ketika sepeda itu telah hilang, hilang pula pekerjaan itu. Lalu sebenarnya apa yang menjadi keunikan dalam film ini? Seperti petikan yang saya tampilkan diawal. Yang berupa sebuah pernyataan moral-politik. Kurangnya dana bisa mempengaruhi estetika sebuah film secara positif. Hal itu yang nampak dalam film ini. Bukan permasalah bagaimana cerita ini diakhiri, namun bagaimana cerita ini berjalan di tengah kekurangan-kekurangan yang menghinggapi. Kala itu, dengan kamera seadanya, kekurangan dana, kondisi negara yang masih “ambigu” mampu melahirkan sebuah film yang bisa dibilang “wow”. Ending yang ambigu, sepertinya memperlihatkan bagaimana keadaan Italia pada saat itu yang terbilang sebagai negara yang masih mencari jati diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar